Note: Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Kaltim, 18 April 2007 di rubrik Opini.
Nelson Mandela pernah berujar, “Pemimpin itu seperti seorang gembala, ia berada dibelakang kawanan, membiarkan yang paling lincah bergerak di depan, diikuti domba-domba yang lain, yang tidak menyadari bahwa mereka dipandu dari belakang”. Hal yang nyaris sama dituturkan oleh Ki Hajar Dewantara, bapak Pendidikan Nasional dengan semoboyannya yang sangat terkenal, “ing ngarso song tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam konteks yang luas keduanya berbicara tentang kepemimpinan dan kekuasaan.
Kekuasaan yang salah dapat membutakan mata bathin, ia adalah perangkat penting yang dipakai oleh nafsu untuk mencapai segala keinginan yang tak kesampaian, termasuk dendam politik dan dendam ekonomi. Dendam politik, melampiaskan kekecewaan politik masa lalu dengan melibas lawan politik terdahulu dan potensial sambil menjaga kelanggengan kekuasaan. Sedang dendam ekonomi menyetir sang kuasa untuk memunculkan semua peluang agar bisa hidup sejahtera secara maksimal dan menggapai semua keinginan untuk hidup senyaman mungkin dalam kerangka materialistis, walau mengorbankan kesejahteraan konstituen nya sendiri.
Tak banyak pemimpin yang mampu selamat dari menghindari resiko kekuasaan yang membutakan mata bathin itu. Yang banyak malah terpeleset bahkan terjerumus ke dalam lobang-lobang kekuasaan; korupsi, kolusi, nepotisme. Kasus-kasus berindikasi korupsi yang melibatkan para penguasa nasional dan lokal membuktikan bahwa lobang-lobang tersebut tidaklah mudah untuk dihindari. Belum lagi kasus-kasus yang terpendam namun hanya menunggu waktu untuk terkuak, menunggu pergantian arah angin kekuasaan. Sekali angin kekuasaan tak berhembus padanya, maka angin ‘dendam dan kebodohan masa lalu’ yang akan meluluhlantakkan reputasi politik.
Menolak Mencalonkan Diri
Baru-baru ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia politik dengan tidak bersedia lagi dicalonkan menjadi Gubernur DIY periode mendatang tahun 2008-2013. Kita ibarat mengalami deja vu saat di Era Soeharo, saat sang Ayahanda di tahun 1978 Sri Sultan Hamengkubuwono IX menolak untuk mencalonkan diri untuk jabatan Wapres kedua kalinya walau banyak pihak menyayangkan keputusan tersebut. Dikutip dari Kompas 12April2007, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengemukakan hal ini dalam Orasi Budaya bertema “Ruh Yogyakarta untuk Indonesia: Berbakti bagi Ibu Pertiwi” pada hari Sabtu (7/4), bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-61. Pernyataan senada diulang dalam sambutannya pada pelantikan pejabat eselon II, III, dan IV hari Senin (9/4) di Kepatihan, Yogyakarta. Sultan HB X menyatakan secara tegas bahwa dirinya tidak bersedia dipilih lagi menjadi gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta setelah masa jabatannya usai pada tahun 2008. Ia juga menegaskan bahwa ruh Yogyakarta diaktualisasikan dengan ruh baru, ruh kemajuan, dan ruh demokrasi yang berkeadilan sesuai dengan akar budaya yang dimiliki dan tantangan masa depan.
Sontak, keputusan beliau ini mengagetkan masyarakat setempat, dan juga, jagad politik nasional. Tak ada alasan yang masuk akal bagi niat politik Sultan ini; beliau masih muda, sehat, cakap, jujur, berwibawa dan paling penting dicintai rakyatnya, baik yang menjadi konstituennya, Golkar, ataupun pemilih lainnya. Ibaratnya, mereka mungkin memilih partai berbeda, tapi soal kepemimpinan, mereka menyatukan suara untuk Sri Sultan.
Sri Sultan Hamengkubuwono X, secara kultural adalah pemimpin de facto atas keusultanan pecahan Mataram itu.. Oleh pemerintahan formal, beliau kemudian ditahbiskan menjadi Gubernur untuk provinsi DI Yogyakarta. Reputasi dan kredibiltas beliau jauh terbentang sebelum menjadi Gubernur, kecintaan rakyat kepadanya menyeruak tatkala titah dan kunjungan nya ke masyarakatnya membuahkan rasa pengayoman dan kasih sayang. Memanfaatkan ketergantungan kultural rakyat Yogyakarta tentu saja bisa digunakan sang Sultan untuk melanggengkan kekuasaan formalnya, yang barang tentu dapat mendatangkan kekuasaan politik dan ekonomi yang jauh lebih besar. Namun, sikap legowo dan kearifan sang Sultan, membuat beliau tak sungkan melepas atribut gubernur tersebut.
Mengingat pemilu nasional yang kian dekat yang berarti suhu politik akan memanas, di arus yang lain, para politisi berlomba-lomba untuk tebar pesona dan tebar issue busuk yang menggiring para lawan politiknya untuk bersembunyi. Sikap yang melawan arus normal politik nasional ini mengundang rasa prihatin bagi masyarakat yang memipikan pemimpin yang santun dan berwibawa semacam Sri Sultan ini. Tak urung ribuan masyarakat DIY, mulai dari rakyat biasa, mahasiswa, pegawai dan para dosen mengumpulkan tanda tangan dukungan untuk Sri Sultan supaya mengurungkan niatnya. Bahkan politisi-ulama- akademisi kawakan HM Amien Rais memerlukan unjuk suara agar Sri Sultan membatalkan niatnya itu. Sampai saat ini, dukungan dan nasehat masih bergulir, mengharapkan keputusan Sri Sultan bisa berubah, sehingga masyarakat tak jadi kehilangan pemimpin karismatik. Meskipun Drat RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menegaskan hal ini dalam pasal-pasal yang menurut sebagian orang dinilai tidak demokratis dan tidak sejalan dengan semangat UU No 18/2001 mengenai Otonomi Daerah. Draf RUU itu antara lain menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam”.
Pelajaran Politik
Apa yang bisa kita petik dari pelajaran fatsoen/tata krama politik Sri Sultan ini? Beliau sadar betul bahwa kekuasaan yang terlalu lama menggiring pada penyalahgunaan wewenang, belum lagi banyaknya hambatan untuk menegakkan pemerintahan yang bersih di tengah carut marutnya jagad politik Indonesia. Belum lagi bencana gempa yang meluluhlantakkan rakyatnya di bulan Mei 2006, yang tak juga bisa terselesaikan penanganannya, dikarenakan bantuan bohong dari pemerintah pusat. Seakan Sri Sultan hendak mengajarkan bahwa kekuasaan duniawi itu bukanlah apa-apa di mata beliau, bahwa amanah kepemimpinan itu bukanlah untuk memaksimalkan keuntungan politik dan ekonomi, tapi untuk memaksimalkan upaya mensejahterahkan rakyat. Kekuasaan, harta dan waktu cepat berlalu, paling lama hanyalah 10 tahun, namun pertanggung jawaban kekuasaaan itu sangat melelahkan, dimulai ketika tak lagi menjabat, hingga ke akherat nanti. Rupanya sang Sultan begitu khawatir kekuasaan yang dipegangnya akan menggiringnya pada lobang-lobang yang menjerumuskan, sebagaimana beberapa pemimpin politik lainnya. Walau beliau juga sadar, rakyat masih mencintainya. Mari kita berharap dan berdoa semoga Sri Sultan masih bersedia ‘menyambung’ kepemimpinan kharismatik nan lurus ini bagi masyarakat DI Yogjakarta, dan mudah2an membuat pemimpin lain bisa men ‘copy paste’ kearifan beliau dalam berpolitik. Semoga.